TENDASEJARAH.com - Jauh
sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan
merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini
sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh
untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke
Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh.
Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)”
dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan
sejarah : Soekarno Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat
Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang
berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang
telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud
Beureueh : “Saudara
Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan
Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau
perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di
antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden
Soekarno : “Kakak!
Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh
pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain,
yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau
syahid.”
Daud
Beureueh : “Kalau
begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian
bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai
nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam
di dalam daerahnya.”
Presiden
Soekarno : “Mengenai
hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud
Beureueh : “Maafkan
saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak
menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara
Presiden.”
Presiden
Soekarno : “Kalau demikian
baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud
Beureueh : “Alhamdulillah,
Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati
Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada
presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”
Daud Beureu'eh Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis
terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan
sesenggukan”
Presiden Soekarno
: “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya
aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.”
Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara
Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada
rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka
airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah,
Presiden Karno bersumpah
: “Waallah
Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun
rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan
pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan
Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud
Beureueh :
“Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali
lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan
hati Saudara Presiden.”
Dalam suatu wawancara
yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh
menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai
hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji
presiden itu.
Soekarno mengucapkan
janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu
provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir
mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan
Provinsi Sumatera Utara.
Hal ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh
yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian
Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan
keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya
dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak
untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat,
dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan
melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telahmenjilat ludahnya
sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannyaatas nama Allah.
Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah
termaafkan.
Sumber: acehpedia.org