TENDASEJARAH.com - Menurut data dan penelitian arkeologiTanah Sunda di awali pada masa pra-sejarah dengan adanya kelompok masyarakat yang telah lama menetap di Tanah Sunda sebelum tarikh masehi. Hal ini ditunjukkan melalui situs purbakala di Ciampea (Bogor); Kelapa Dua (Jakarta);Dataran Tinggi (Bandung) dan Cangkuang (Garut) dimana terdapat bukti bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sitem kepercayaan, organisasi sosial, sitem mata pencaharian, pola pemukiman dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat manusia pada umumnya.
Zaman Mula Periode Sejarah Tanah Sunda
Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada sekitar abad ke-5 seiring ditemukannya artefak-artefak tertulis seperti beberapa prasasti yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa. Beberapa prasasti tersebut diketemukan di beberapa tempat yang saling berdekatan lokasinya yaitu di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang.
Dari prasasti tersebut, ditemukan informasi bahwa pemilik prasasti tersebut adalah Kerajaan Tarumanegara yang memiliki raja bernama Purnawarman dan ibukotanya adalah Bekasi. Kerajaan ini bercorak Hindu dan memiliki sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial dan hubungan antar negara telah mulai terrwujud di Kerajaan Tarumanegara.
Pada awal abad ke-8 Kerajaan Tarumanegara dilanjutkan dengan kerajaan Sunda atau yang disebut dengan Kerajaan Pajajaran. Pusat kerajaan ini berada di Bogor pada masa sekarang. Kerajaan Pajajaran mengalami pasang surut hingga runtuh sekitar tahun 1579
Zaman Pergerakan dan Kemerdekaan
Periode ini dimulai pada awal abad ke-17 dimana Belanda melalui Kongsi dagangnya (VOC) mulai memasuki pantai utara pelabuhan Jayakarta dan mulai dikenalnya Kerajaan Mataram (pada masa ini peradaban Islam mulai masuk dan menyebar di Pulau Jawa yang dibawa oleh para pedagang asing yang berdagang ke Jawa.
Pada awal abad ke-19 kekuasaan VOC-Belanda semakin terasa di seluruh daerah nusantara tidak terkecuali di Tanah Sunda sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa ini merupakan awal dari dimulainya kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Pada era ini, masyarakat dan Tanah Sunda dijadikan lahan eksploitasi tidak saja sumber daya alamnya yang kaya juga sumber daya manusianya melalui tanam paksa dan kerja rodi.
Keberadaan tanah Sunda dan potensinya membuat hasil ekploitasi tersebut menjadi sangat menguntungkan bagi Penguasa Kolonial baik bagi para rakyat Belanda di ndonesia maupun yang berada di Belanda itu sendiri. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat pribumi khsusunya di Jawa Barat hidup didalam garis pederitaan serta banyak timbulnya kemiskinan. Namun dibalik wajah pribumi Jawa Barat yang mengalami nasib seperti ini, masih terdapat beberapa kecil golongan yang juga hidup berkelimpahan yaitu orang-orang pribumi yang hidup dengan berkerjasama serta dekat dengan penguasa Kolonial Belanda yang sering disebut dengan Kaum Menak.
Dibalik kedua hal tersebut, juga menciptakan beberapa kelompok perlawanan yang merasa tidak puas dan menggelorakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial. Pemimpin-peminpin masyarakat ini antara lain : Dipati Ukur di Priangan (1628-1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya di Banten (1659-1683), Prawatasari di Priangan (1705-1708), Bagus Rangin (1802-1818), Kyai Hassan Maulani di Kuningan (1842), Kyai Washid di Banten (1888), Kyai Hasan Arif di Garut (1918).
Selepas pendudukan Belanda datanglah Penjajah Jepang yang kala itu menggelar Perang Asia Raya terhadap bangsa Barat tidak terkecuali di Indonesia. Melalui kekuasaan Jepang, Belanda berhasil menyerah dan ditumbangkan di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942 dengan tanpa syarat). Jepang selain menjajah namun juga memberikan ilmu-ilmu strategi kepada rakyat Indonesia melalui PETA sehingga menimbulkan keberanian bagi rakyat pribumi Jawa Barat. Hal ini menjadi sebuah modal penting saat kemerdekaan Indonesia dimana kesemuanya itu menjadi sebuah pertahanan masyarakat Sunda dalam mempertahankan kemerdekaan dan tetap bersatu dan menjadi bagian dari Republik Indonesia.