TENDASEJARAH.com - Kata “maulid” secara
bahasa berarti waktu kelahiran. Dalam kitab Lisanul Arab[1] karya Ibnu Mandhûr
disebutkan bahwa kata maulid bermakna: “Maulid al-rajul: wilâdatuhu.” Jadi,
yang dimaksud dengan kata maulid adalah waktu kelahiran seseorang.
Jika kita berbicara
tentang sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW. maka orang yang pertama kali
merayakan Maulid Nabi adalah Shahibul Maulid (pemiliknya sendiri) yaitu Nabi
Muhammad SAW. Sebagaimana keterangan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim: “Ketika Nabi SAW. ditanya
tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: “Hari Senin adalah hari kelahiranku.”
Hadis ini adalah dalil yang paling kuat dalam legalitas perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW
Setelah itu, dalam
perkembangannya, perayaan Maulid Nabi SAW. dirayakan secara meriah untuk
pertama kalinya pada masa penguasa daerah Irbil, yaitu Raja Mudzaffar Abu Said
Kaukabry bin Zainuddin Ali bin Baktakin. Ia adalah seorang raja yang sangat
dermawan. Ibnu Katsir dalam “tarikh”-nya mengatakan bahwa Raja Mudzaffar adalah
seorang pahlawan pemberani serta pandai dan cerdik. Yusuf bin Qaz (cucu
Abu Farj Ibnul Jauzi) dalam kitabnya “Mir’ah al-Zaman” menceritakan
bahwasanya dalam setiap perayaan Maulid Nabi SAW.
Raja Mudzaffar
menyediakan hidangan 5000 potong kepala kambing bakar, 10.000 potong ayam, 100
kuda, 100.000 zabady, dan 30.000 piring yang berisi manisan. Dan yang
menghadiri perayaan maulid kala itu adalah para pembesar ulama dan tokoh sufi.
Dalam perayaan maulid setiap tahunnya Sang Raja mengeluarkan biaya sekitar
300.000 dinar. Ia juga menyediakan tempat tinggal khusus bagi para tamu yang
datang dari penjuru dunia dengan total dana operasional sekitar 100.000 dinar
setiap tahunnya. Ia juga mengucurkan dana untuk perawatan dan kemakmuran
Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah serta pengairan di Hijaz sekitar
30.000 dinar setiap tahunnya. Seluruh dana yang ia keluarkan ini belum termasuk
sedekah-sedekahnya di sektor lainnya.
Istri Sang Raja yang
bernama Rabi’ah Khatun binti Ayyub (saudari Panglima Besar Islam Shalahuddin
al-Ayyubi) pernah menceritakan mengenai suaminya, bahwa ia (raja) hanya
berpakaian yang terbuat dari kain katun yang harganya tidak sampai 5 dirham.
Istrinya pernah mencela hal itu, dan Sang Raja menjawab: “Aku berpakaian dengan
pakaian seharga kurang dari 5 dirham dan menyedekahkan sisa uangnya lebih baik
daripada aku berpakaian yang mahal dengan menterlantarkan orang fakir dan
miskin.”
Ibnu Khalikan ketika
menulis biografi al-Hafiz Abu Khattab Ibnu Dihyah berkata: “Ia (Ibnu Dihyah)
adalah termasuk pembesar pada ulama yang melanglang buana, pergi ke Maghrib
(Maroko), Syam (Suriah), Irak, dan kemudian menetap di Irbil tahun 604 H.. Di
sana ia mendapati raja daerah itu (Raja Mudzaffar) sedang merayakan Maulid
Nabi, lantas ia pun menulis kitab “Al-Tanwîr fî Maulid al-Basyîr al-Nadzîr” dan
membacanya di hadapan Sang Raja. Lantas Sang Raja memberinya hadiah sebesar
1000 dinar atas hal itu.
Terkait tuduhan bahwa
Perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan pada masa Dinasti Fathimiyah
(Syiah), Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki berkata: “Dan tidak perlu
memperdulikan ucapan seseorang yang mengatakan bahwa yang pertama kali
merayakan Maulid Nabi adalah al-Fathimiyun sebab hal ini bisa jadi karena suatu
kebodohan atau pura-pura tidak tahu kebenaran.”
*Sumber Referensi: Ruwaq Azhar