TENDASEJARAH.com - Kesultanan Banjar
atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri pada Tahun 1520, dihapuskan sepihak oleh
Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui ada pemerintahan
darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Namun sejak 24 Juli
2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Sultan Khairul Saleh. Kerajaan
Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi
Kalimantan Selatan, Indonesia. Wilayah Banjar yang lebih luas terbentang dari
Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru.
Kesultanan ini semula
beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir
d iMartapura. Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Wilayah terluas kerajaan ini pada masa kejayaannya disebut empire/kekaisaran
Banjar membawahi beberapa negeri yang berbentuk kesultanan, kerajaan,
kerajamudaan, kepengeranan, keadipatian dan daerah-daerah kecil yang dipimpin
kepala-kepala suku Dayak.
Ketika ibukotanya
masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin.
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan
Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha
Selatan, Hulu Sungai Selatan. menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di
Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah
Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas
mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir.
Keberadaan mitologi
Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai
sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini
dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat
serangan dari Majapahit. sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman
(wilayah suku Lawangan).
Salah satu
peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang
terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14
terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran
242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20). Menilik dari angka tahun
dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri
usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di
Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang
Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara
dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang
Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang
merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.[20][21]
Maharaja Sukarama,
Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden
Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera
adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama.
Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para
putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung,
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Dibantu oleh Arya
Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai
Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha,
selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran
Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung
oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih
Balitung diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran Tumenggung
melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak
dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang
masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.[22])
Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara
Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi
Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung
diberi wilayah di Batang Alai.
Pangeran Samudra
menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun
menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan, Kesultanan
Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada
sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau
Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan
Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan
Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke
Jawa.
Supremasi Jawa
terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk
menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi
gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari
Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan
mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik
(1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622
Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah
selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan
kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal
itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan
ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim
Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan
Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan
Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun
1636
Sejak tahun 1631
Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena
kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak
ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara
besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung.
Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga
pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi
rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus
menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan
perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar
(1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan
Gowa ke Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.
Sebelum dibagi
menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat
berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang)
dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru.
Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan
Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim
upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun
1636 dengan bantuan Belanda. Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat
di pulau Kalimantan, Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya
Hindu.